DEFINISI MANAJEMEN UMUM
Kata Manajemen berasal dari bahasa Prancis
kuno ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen
belum memiliki definisi yang mapan dan diterima secara universal. Mary Parker
Follet, misalnya, mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan
melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas
mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Ricky W.
Griffin mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan,
pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai
sasaran (goals) secara efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat
dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang
ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal.
Kata manajemen mungkin berasal dari bahasa
Italia (1561) maneggiare yang berarti “mengendalikan,” terutamanya
“mengendalikan kuda” yang berasal dari bahasa latin manus yang berati “tangan”.
Kata ini mendapat pengaruh dari bahasa Perancis manège yang berarti
“kepemilikan kuda” (yang berasal dari Bahasa Inggris yang berarti seni
mengendalikan kuda), dimana istilah Inggris ini juga berasal dari bahasa
Italia. Bahasa Prancis lalu mengadopsi kata ini dari bahasa Inggris menjadi
ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur.
Banyak kesulitan yang terjadi dalam melacak
sejarah manajemen. Namun diketahui bahwa ilmu manajemen telah ada sejak ribuan
tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan adanya piramida di Mesir. Piramida
tersebut dibangun oleh lebih dari 100.000 orang selama 20 tahun. Piramida Giza
tak akan berhasil dibangun jika tidak ada seseorang—tanpa mempedulikan apa
sebutan untuk manajer ketika itu—yang merencanakan apa yang harus dilakukan,
mengorganisir manusia serta bahan bakunya, memimpin dan mengarahkan para
pekerja, dan menegakkan pengendalian tertentu guna menjamin bahwa segala
sesuatunya dikerjakan sesuai rencana.
Piramida di Mesir. Pembangunan piramida ini
tak mungkin terlaksana tanpa adanya seseorang yang merencanakan,
mengorganisasikan dan menggerakan para pekerja, dan mengontrol pembangunannya.
Praktik-praktik manajemen lainnya dapat
disaksikan selama tahun 1400-an di kota Venesia, Italia, yang ketika itu
menjadi pusat perekonomian dan perdagangan di sana. Penduduk Venesia
mengembangkan bentuk awal perusahaan bisnis dan melakukan banyak kegiatan yang
lazim terjadi di organisasi modern saat ini. Sebagai contoh, di gudang senjata
Venesia, kapal perang diluncurkan sepanjang kanal dan pada tiap-tiap perhentian,
bahan baku dan tali layar ditambahkan ke kapal tersebut. Hal ini mirip dengan
model lini perakitan (assembly line) yang dikembangkan oleh Hanry Ford untuk
merakit mobil-mobilnya. Selain lini perakitan tersebut, orang Venesia memiliki
sistem penyimpanan dan pergudangan untuk memantau isinya, manajemen sumber daya
manusia untuk mengelola angkatan kerja, dan sistem akuntansi untuk melacak
pendapatan dan biaya.
Sebelum abad ke-20, terjadi dua peristiwa
penting dalam ilmu manajemen. Peristiwa pertama terjadi pada tahun 1776, ketika
Adam Smith menerbitkan sebuah doktrin ekonomi klasik, The Wealth of Nation.
Dalam bukunya itu, ia mengemukakan keunggulan ekonomis yang akan diperoleh
organisasi dari pembagian kerja (division of labor), yaitu perincian pekerjaan
ke dalam tugas-tugas yang spesifik dan berulang. Dengan menggunakan industri
pabrik peniti sebagai contoh, Smith mengatakan bahwa dengan sepuluh
orang—masing-masing melakukan pekerjaan khusus—perusahaan peniti dapat
menghasilkan kurang lebih 48.000 peniti dalam sehari. Akan tetapi, jika setiap
orang bekerja sendiri menyelesaikan tiap-tiap bagian pekerjaan, sudah sangat
hebat bila mereka mampu menghasilkan sepuluh peniti sehari. Smith menyimpulkan
bahwa pembagian kerja dapat meningkatkan produktivitas dengan (1) meningkatnya
keterampilan dan kecekatan tiap-tiap pekerja, (2) menghemat waktu yang terbuang
dalam pergantian tugas, dan (3) menciptakan mesin dan penemuan lain yang dapat
menghemat tenaga kerja.
Peristiwa penting kedua yang mempengaruhi
perkembangan ilmu manajemen adalah Revolusi Industri di Inggris. Revolusi
Industri menandai dimulainya penggunaan mesin, menggantikan tenaga manusia,
yang berakibat pada pindahnya kegiatan produksi dari rumah-rumah menuju tempat
khusus yang disebut pabrik. Perpindahan ini mengakibatkan manajer-manajer
ketika itu membutuhkan teori yang dapat membantu mereka meramalkan permintaan,
memastikan cukupnya persediaan bahan baku, memberikan tugas kepada bawahan,
mengarahkan kegiatan sehari-hari, dan lain-lain, sehingga ilmu manajamen mulai
dikembangkan oleh para ahli.
Di awal abad ke-20, seorang industriawan
Perancis bernama Henry Fayol mengajukan gagasan lima fungsi utama manajemen:
merancang, mengorganisasi, memerintah, mengoordinasi, dan mengendalikan.
Gagasan Fayol itu kemudian mulai digunakan sebagai kerangka kerja buku ajar
ilmu manajemen pada pertengahan tahun 1950, dan terus berlangsung hingga
sekarang.
Sumbangan penting lainnya datang dari ahli
sosilogi Jerman Max Weber. Weber menggambarkan suatu tipe ideal organisasi yang
disebut sebagai birokrasi—bentuk organisasi yang dicirikan oleh pembagian
kerja, hierarki yang didefinisikan dengan jelas, peraturan dan ketetapan yang
rinci, dan sejumlah hubungan yang impersonal. Namun, Weber menyadari bahwa
bentuk “birokrasi yang ideal” itu tidak ada dalam realita. Dia menggambarkan
tipe organisasi tersebut dengan maksud menjadikannya sebagai landasan untuk
berteori tentang bagaimana pekerjaan dapat dilakukan dalam kelompok besar.
Teorinya tersebut menjadi contoh desain struktural bagi banyak organisasi besar
sekarang ini.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun
1940-an ketika Patrick Blackett melahirlkan ilmu riset operasi, yang merupakan
kombinasi dari teori statistika dengan teori mikroekonomi. Riset operasi,
sering dikenal dengan “Sains Manajemen”, mencoba pendekatan sains untuk
menyelesaikan masalah dalam manajemen, khususnya di bidang logistik dan
operasi. Pada tahun 1946, Peter F. Drucker—sering disebut sebagai Bapak Ilmu
Manajemen—menerbitkan salah satu buku paling awal tentang manajemen terapan:
“Konsep Korporasi” (Concept of the Corporation). Buku ini muncul atas ide
Alfred Sloan (chairman dari General Motors) yang menugaskan penelitian tentang
organisasi.
Teori manajemen
Manajemen ilmiah
Manajemen ilmiah, atau dalam bahasa Inggris
disebut scientific management, pertama kali dipopulerkan oleh Frederick Winslow
Taylor dalam bukunya yang berjudul Principles of Scientific Management pada
tahun 1911. Dalam bukunya itu, Taylor mendeskripsikan manajemen ilmiah adalah
“penggunaan metode ilmiah untuk menentukan cara terbaik dalam menyelesaikan
suatu pekerjaan.” Beberapa penulis seperti Stephen Robbins menganggap tahun
terbitnya buku ini sebagai tahun lahirya teori manajemen modern.
Ide tentang penggunaan metode ilmiah muncul
ketika Taylor merasa kurang puas dengan ketidakefesienan pekerja di
perusahaannya. Ketidakefesienan itu muncul karena mereka menggunakan berbagai
macam teknik yang berbeda untuk pekerjaan yang sama—nyaris tak ada standar
kerja di sana. Selain itu, para pekerja cenderung menganggap gampang
pekerjaannya. Taylor berpendapat bahwa hasil dari para pekerja itu hanyalah
sepertiga dari yang seharusnya. Taylor kemudian, selama 20 tahun, berusaha
keras mengoreksi keadaan tersebut dengan menerapkan metode ilmiah untuk menemukan
sebuah “teknik paling baik” dalam menyelesaikan tiap-tiap pekerjaan.
Berdasarkan pengalamannya itu, Taylor membuat
sebuah pedoman yang jelas tentang cara meningkatkan efesiensi produksi. Pedoman
tersebut adalah:
Kembangkanlah suatu ilmu bagi tiap-tiap unsur
pekerjaan seseorang, yang akan menggantikan metode lama yang bersifat
untung-untungan.
Secara ilmiah, pilihlah dan kemudian latihlah,
ajarilah, atau kembangkanlah pekerja tersebut.
Bekerja samalah secara sungguh-sungguh dengan
para pekerja untuk menjamin bahwa semua pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan
prinsip-prinsip ilmu yang telah dikembangkan tadi.
Bagilah pekerjaan dan tanggung jawab secara
hampir merata antara manajemen dan para pekerja. Manajemen mengambil alih semua
pekerjaan yang lebih sesuai baginya daripada bagi para pekerja.
Pedoman ini mengubah drastis pola pikir
manajemen ketika itu. Jika sebelumnya pekerja memilih sendiri pekerjaan mereka
dan melatih diri semampu mereka, Taylor mengusulkan manajemenlah yang harus
memilihkan pekerjaan dan melatihnya. Manajemen juga disarankan untuk mengambil
alih pekerjaan yang tidak sesuai dengan pekerja, terutama bagian perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan, dan pengontrolan. Hal ini berbeda dengan
pemikiran sebelumnya di mana pekerjalah yang melakukan tugas tersebut.
Manajemen ilmiah kemudian dikembangkan lebih
jauh oleh pasangan suami-istri Frank dan Lillian Gilbreth. Keduanya tertarik
dengan ide Taylor setelah mendengarkan ceramahnya pada sebuah pertemuan
profesional.
Keluarga Gilbreth berhasil menciptakan
mikronometer yang dapat mencatat setiap gerakan yang dilakukan oleh pekerja dan
lamanya waktu yang dihabiskan untuk melakukan setiap gerakan tersebut. Gerakan
yang sia-sia yang luput dari pengamatan mata telanjang dapat diidentifikasi
dengan alat ini, untuk kemudian dihilangkan. Keluarga Gilbreth juga menyusun
skema klasifikasi untuk memberi nama tujuh belas gerakan tangan dasar (seperti
mencari, menggenggam, memegang) yang mereka sebut Therbligs (dari nama keluarga
mereka, Gilbreth, yang dieja terbalik dengan huruf th tetap). Skema tersebut
memungkinkan keluarga Gilbreth menganalisis cara yang lebih tepat dari
unsur-unsur setiap gerakan tangan pekerja.
Skema itu mereka dapatkan dari pengamatan
mereka terhadap cara penyusunan batu bata. Sebelumnya, Frank yang bekerja
sebagai kontraktor bangunan menemukan bahwa seorang pekerja melakukan 18
gerakan untuk memasang batu bata untuk eksterior dan 18 gerakan juga untuk
interior. Melalui penelitian, ia menghilangkan gerakan-gerakan yang tidak perlu
sehingga gerakan yang diperlukan untuk memasang batu bata eksterior berkurang
dari 18 gerakan menjadi 5 gerakan. Sementara untuk batu bata interior, ia
mengurangi secara drastis dari 18 gerakan hingga menjadi 2 gerakan saja. Dengan
menggunakan teknik-teknik Gilbreth, tukang baku dapat lebih produktif dan
berkurang kelelahannya di penghujung hari.
Teori administrasi umum
Teori administrasi umum atau, dalam bahasa
Inggris, general theory of administration, adalah teori umum mengenai apa yang
dilakukan oleh para manajer dan bagaimana cara membentuk praktik manajemen yang
baik. Sumbangan penting untuk teori ini datang dari industrialis Perancis Henri
Fayol dengan 14 prinsip manajemen-nya dan sosiolog Jerman Max Weber dengan
konsep birokrasi—bentuk organisasi yang dicirikan oleh pembagian kerja,
hierarki yang didefinisikande dengan jelas, peraturan dan ketetapan rinci, dan
sejumlah hubungan impersonal.
Pendekatan kuantitatif
Pendekatan kuantitatif adalah penggunaan
sejumlah teknik kuantitatif—seperti statistik, model optimasi, model informasi,
atau simulasi komputer—untuk membantu manajemen dalam mengambil keputusan.
Sebagai contoh, pemrograman linear digunakan para manajer untuk membantu
mengambil kebijakan pengalokasian sumber daya; analisis jalur krisis (Critical
Path Analysis) dapat digunakan untuk membuat penjadwalan kerja yang lebih
efesien; model kuantitas pesanan ekonomi (economic order quantity model)
membantu manajer menentukan tingkat persediaan optimum; dan lain-lain.
Pengembangan kuantitatif muncul dari pengembangan
solusi matematika dan statistik terhadap masalah militer selama Perang Dunia
II. Setelah perang berakhir, teknik-teknik matematika dan statistika yang
digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan militer itu diterapkan di sektor
bisnis. Pelopornya adalah sekelompok perwira militer yang dijuluki “Whiz Kids.”
Para perwira yang bergabung dengan Ford Motor Company pada pertengahan 1940-an
ini menggunakan metode statistik dan model kuantitatif untuk memperbaiki
pengambilan keputusan di Ford.
Kajian Hawthorne
Kajian Hawthrone adalah serangkaian kajian
yang dilakukan pada tahun 1920-an hingga 1930-an. Kajian ini awalnya bertujuan
mempelajari pengaruh berbagai macam tingkat penerangan lampu terhadap
produktivitas kerja. Kajian dilakukan di Western Electric Company Works di
Cicero, Illenois.
Uji coba dilaksanakan dengan membagi karyawan
ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Kelompok
eksperimen dikenai berbagai macam intensitas penerangan sementara kelompok
kontrol bekerja di bawah intensitas penerangan yang tetap. Para peneliti
mengharapkan adanya perbedaan jika intensitas cahaya diubah. Namun, mereka
mendapatkan hasil yang mengejutkan: baik tingkat cahaya itu dinaikan maupun
diturunkan, output pekerja meningkat daripada biasanya. Para peneliti tidak
dapat menjelaskan apa yang mereka saksikan, mereka hanya dapat menyimpulkan
bahwa intensitas penerangan tidak berhubungan langsung dengan produktivitas
kelompok dan “sesuatu yang lain pasti” telah menyebabkan hasil itu.
Pada tahun 1927, Profesor Elton Mayo dari
Harvard beserta rekan-rekannya diundang untuk bergabung dalam kajian ini.
Mereka kemudian melanjutkan penelitian tentang produktivitas kerja dengan
cara-cara yang lain, misalnya dengan mendesain ulang jabatan, mengubah lamanya
jam kerja dan hari kerja alam seminggu, memperkenalkan periode istirahat, dan
menyusun rancangan upah individu dan rancangan upah kelompok. Penelitian ini
mengindikasikan bahwa ternyata insentif-insentif di atas lebih sedikit
pengaruhnya terhadap output pekerja dibandingkan dengan tekanan kelompok,
penerimaan kelompok, serta rasa aman yang menyertainya. Peneliti menyimpulkan
bahwa norma-norma sosial atau standar kelompok merupakan penentu utama perilaku
kerja individu.
Kalangan akademisi umumnya sepakat bahwa
Kajian Hawthrone ini memberi dampak dramatis terhadap arah keyakinan manajemen
terhadap peran perlikau manusia dalam organisasi. Mayo menyimpulkan bahwa:
perilaku dan sentimen memiliki kaitan yang
sangat erat
pengaruh kelompok sangat besar dampaknya pada
perilaku individu
standar kelompok menentukan hasil kerja
masing-masing karyawan
uang tidak begitu menjadi faktor penentu
output bila dibandingkan dengan standar kelompok, sentimen kelompok, dan rasa
aman.
Kesimpulan-kesimpulan itu berakibat pada
penekanan baru terhadap faktor perilaku manusia sebagai penentu berfungsi atau
tidaknya organisasi, dan pencapaian sasaran organisasi tersebut.
Fungsi manajemen
Fungsi manajemen adalah elemen-elemen dasar
yang akan selalu ada dan melekat di dalam proses manajemen yang akan dijadikan
acuan oleh manajer dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan. Fungsi
manajemen pertama kali diperkenalkan oleh seorang industrialis Perancis bernama
Henry Fayol pada awal abad ke-20. Ketika itu, ia menyebutkan lima fungsi
manajemen, yaitu merancang, mengorganisir, memerintah, mengordinasi, dan
mengendalikan. Namun saat ini, kelima fungsi tersebut telah diringkas menjadi
empat, yaitu:
Perencanaan (planning) adalah memikirkan apa
yang akan dikerjakan dengan sumber yang dimiliki. Perencanaan dilakukan untuk
menentukan tujuan perusahaan secara keseluruhan dan cara terbaik untuk memenuhi
tujuan itu. Manajer mengevaluasi berbagai rencana alternatif sebelum mengambil
tindakan dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok dan dapat
digunakan untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan merupakan proses
terpenting dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan, fungsi-fungsi
lainnya tak dapat berjalan.
Pengorganisasian (organizing) dilakukan dengan
tujuan membagi suatu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil.
Pengorganisasian mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan dan menentukan
orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah dibagi-bagi
tersebut. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan tugas apa
yang harus dikerjakan, siapa yang harus mengerjakannya, bagaimana tugas-tugas
tersebut dikelompokkan, siapa yang bertanggung jawab atas tugas tersebut, pada
tingkatan mana keputusan harus diambil.
Pengarahan (directing) adalah suatu tindakan
untuk mengusahakan agar semua anggota kelompok berusaha untuk mencapai sasaran
sesuai dengan perencanaan manajerial dan usaha-usaha organisasi. Jadi actuating
artinya adalah menggerakkan orang-orang agar mau bekerja dengan sendirinya atau
penuh kesadaran secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang dikehendaki
secara efektif. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah kepemimpinan (leadership).
Pengevaluasian (evaluating) adalah proses
pengawasan dan pengendalian performa perusahaan untuk memastikan bahwa jalannya
perusahaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Seorang manajer
dituntut untuk menemukan masalah yang ada dalam operasional perusahaan,
kemudian memecahkannya sebelum masalah itu menjadi semakin besar.
Untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
diperlukan alat-alat sarana (tools). Tools merupakan syarat suatu usaha untuk
mencapai hasil yang ditetapkan. Tools tersebut dikenal dengan 6M, yaitu men,
money, materials, machines, method, dan markets.
Man merujuk pada sumber daya manusia yang
dimiliki oleh organisasi. Dalam manajemen, faktor manusia adalah yang paling
menentukan. Manusia yang membuat tujuan dan manusia pula yang melakukan proses
untuk mencapai tujuan. Tanpa ada manusia tidak ada proses kerja, sebab pada
dasarnya manusia adalah makhluk kerja. Oleh karena itu, manajemen timbul karena
adanya orang-orang yang berkerja sama untuk mencapai tujuan.
Money atau Uang merupakan salah satu unsur
yang tidak dapat diabaikan. Uang merupakan alat tukar dan alat pengukur nilai.
Besar-kecilnya hasil kegiatan dapat diukur dari jumlah uang yang beredar dalam
perusahaan. Oleh karena itu uang merupakan alat (tools) yang penting untuk
mencapai tujuan karena segala sesuatu harus diperhitungkan secara rasional. Hal
ini akan berhubungan dengan berapa uang yang harus disediakan untuk membiayai
gaji tenaga kerja, alat-alat yang dibutuhkan dan harus dibeli serta berapa
hasil yang akan dicapai dari suatu organisasi.
Material terdiri dari bahan setengah jadi (raw
material) dan bahan jadi. Dalam dunia usaha untuk mencapai hasil yang lebih
baik, selain manusia yang ahli dalam bidangnya juga harus dapat menggunakan
bahan/materi-materi sebagai salah satu sarana. Sebab materi dan manusia tidaki
dapat dipisahkan, tanpa materi tidak akan tercapai hasil yang dikehendaki.
Machine atau Mesin digunakan untuk memberi
kemudahan atau menghasilkan keuntungan yang lebih besar serta menciptakan
efesiensi kerja.
Metode adalah suatu tata cara kerja yang
memperlancar jalannya pekerjaan manajer. Sebuah metode daat dinyatakan sebagai
penetapan cara pelaksanaan kerja suatu tugas dengan memberikan berbagai
pertimbangan-pertimbangan kepada sasaran, fasilitas-fasilitas yang tersedia dan
penggunaan waktu, serta uang dan kegiatan usaha. Perlu diingat meskipun metode
baik, sedangkan orang yang melaksanakannya tidak mengerti atau tidak mempunyai
pengalaman maka hasilnya tidak akan memuaskan. Dengan demikian, peranan utama
dalam manajemen tetap manusianya sendiri.
Market atau pasar adalah tempat di mana
organisasi menyebarluaskan (memasarkan) produknya. Memasarkan produk sudah
barang tentu sangat penting sebab bila barang yang diproduksi tidak laku, maka
proses produksi barang akan berhenti. Artinya, proses kerja tidak akan
berlangsung. Oleh sebab itu, penguasaan pasar dalam arti menyebarkan hasil
produksi merupakan faktor menentukan dalam perusahaan. Agar pasar dapat
dikuasai maka kualitas dan harga barang harus sesuai dengan selera konsumen dan
daya beli (kemampuan) konsumen.
Prinsip manajemen
Prinsip-prinsip dalam manajemen bersifat
lentur dalam arti bahwa perlu dipertimbangkan sesuai dengan kondisi-kondisi
khusus dan situasi-situasi yang berubah. Menurut Henry Fayol, seorang pencetus
teori manajemen yang berasal dari Perancis, prinsip-prinsip umum manajemen ini
terdiri dari:
Pembagian kerja (Division of work)
Wewenang dan tanggung jawab (Authority and
responsibility)
Disiplin (Discipline)
Kesatuan perintah (Unity of command)
Kesatuan pengarahan (Unity of direction)
Mengutamakan kepentingan organisasi di atas
kepentingan sendiri
Penggajian pegawai
Pemusatan (Centralization)
Hirarki (tingkatan)
Ketertiban (Order)
Keadilan dan kejujuran
Stabilitas kondisi karyawan
Prakarsa (Inisiative)
Semangat kesatuan, semangat korps
Manajer
Manajer adalah seseorang yang bekerja melalui
orang lain dengan mengoordinasikan kegiatan-kegiatan mereka guna mencapai
sasaran organisasi.
Pada organisasi berstruktur tradisional,
manajer sering dikelompokan menjadi manajer puncak, manajer tingkat menengah,
dan manajer lini pertama (biasanya digambarkan dengan bentuk piramida, di mana
jumlah karyawan lebih besar di bagian bawah daripada di puncak). Berikut ini
adalah tingkatan manajer mulai dari bawah ke atas:
Manejemen lini pertama (first-line
management), dikenal pula dengan istilah manajemen operasional, merupakan
manajemen tingkatan paling rendah yang bertugas memimpin dan mengawasi karyawan
non-manajerial yang terlibat dalam proses produksi. Mereka sering disebut
penyelia (supervisor), manajer shift, manajer area, manajer kantor, manajer
departemen, atau mandor (foreman).
Manajemen tingkat menengah (middle
management), mencakup semua manajemen yang berada di antara manajer lini
pertama dan manajemen puncak dan bertugas sebagai penghubung antara keduanya.
Jabatan yang termasuk manajer menengah di antaranya kepala bagian, pemimpin
proyek, manajer pabrik, atau manajer divisi.
Manajemen puncak (top management), dikenal
pula dengan istilah executive officer. Bertugas merencanakan kegiatan dan
strategi perusahaan secara umum dan mengarahkan jalannya perusahaan. Contoh top
manajemen adalah CEO (Chief Executive Officer), CIO (Chief Information
Officer), dan CFO (Chief Financial Officer).
Meskipun demikian, tidak semua organisasi
dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan menggunakan bentuk piramida tradisional
ini. Misalnya pada organisasi yang lebih fleksibel dan sederhana, dengan
pekerjaan yang dilakukan oleh tim karyawan yang selalu berubah, berpindah dari
satu proyek ke proyek lainnya sesuai dengan dengan permintaan pekerjaan.
Peran manajer
Henry Mintzberg, seorang ahli riset ilmu
manajemen, mengemukakan bahwa ada sepuluh peran yang dimainkan oleh manajer di
tempat kerjanya. Ia kemudian mengelompokan kesepuluh peran itu ke dalam tiga
kelompok, yaitu:
Peran antarpribadi
Merupakan peran yang melibatkan orang dan
kewajiban lain, yang bersifat seremonial dan simbolis. Peran ini meliputi peran
sebagai figur untuk anak buah, pemimpin, dan penghubung.
Peran informasional
Meliputi peran manajer sebagai pemantau dan
penyebar informasi, serta peran sebagai juru bicara.
Peran pengambilan keputusan
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah peran
sebagai seorang wirausahawan, pemecah masalah, pembagi sumber daya, dan
perunding.
Robert L. Katz pada tahun 1970-an mengemukakan
bahwa setiap manajer membutuhkan minimal tiga keterampilan dasar. Ketiga
keterampilan tersebut adalah:
Keterampilan konseptual (conceptional skill)
Manajer tingkat atas (top manager) harus
memiliki keterampilan untuk membuat konsep, ide, dan gagasan demi kemajuan
organisasi. Gagasan atau ide serta konsep tersebut kemudian haruslah dijabarkan
menjadi suatu rencana kegiatan untuk mewujudkan gagasan atau konsepnya itu.
Proses penjabaran ide menjadi suatu rencana kerja yang kongkret itu biasanya
disebut sebagai proses perencanaan atau planning. Oleh karena itu, keterampilan
konsepsional juga meruipakan keterampilan untuk membuat rencana kerja.
Keterampilan berhubungan dengan orang lain
(humanity skill)
Selain kemampuan konsepsional, manajer juga
perlu dilengkapi dengan keterampilan berkomunikasi atau keterampilan
berhubungan dengan orang lain, yang disebut juga keterampilan kemanusiaan.
Komunikasi yang persuasif harus selalu diciptakan oleh manajer terhadap bawahan
yang dipimpinnya. Dengan komunikasi yang persuasif, bersahabat, dan kebapakan akan
membuat karyawan merasa dihargai dan kemudian mereka akan bersikap terbuka
kepada atasan. Keterampilan berkomunikasi diperlukan, baik pada tingkatan
manajemen atas, menengah, maupun bawah.
Keterampilan teknis (technical skill)
Keterampilan ini pada umumnya merupakan bekal
bagi manajer pada tingkat yang lebih rendah. Keterampilan teknis ini merupakan
kemampuan untuk menjalankan suatu pekerjaan tertentu, misalnya menggunakan
program komputer, memperbaiki mesin, membuat kursi, akuntansi dan lain-lain.
Selain tiga keterampilan dasar di atas, Ricky
W. Griffin menambahkan dua keterampilan dasar yang perlu dimiliki manajer,
yaitu:
Keterampilan manajemen waktu
Merupakan keterampilan yang merujuk pada
kemampuan seorang manajer untuk menggunakan waktu yang dimilikinya secara
bijaksana. Griffin mengajukan contoh kasus Lew Frankfort dari Coach. Pada tahun
2004, sebagai manajer, Frankfort digaji $2.000.000 per tahun. Jika diasumsikan
bahwa ia bekerja selama 50 jam per minggu dengan waktu cuti 2 minggu, maka gaji
Frankfort setiap jamnya adalah $800 per jam—sekitar $13 per menit. Dari sana
dapat kita lihat bahwa setiap menit yang terbuang akan sangat merugikan
perusahaan. Kebanyakan manajer, tentu saja, memiliki gaji yang jauh lebih kecil
dari Frankfort. Namun demikian, waktu yang mereka miliki tetap merupakan aset
berharga, dan menyianyiakannya berarti membuang-buang uang dan mengurangi
produktivitas perusahaan.
Keterampilan membuat keputusan
Merupakan kemampuan untuk mendefinisikan
masalah dan menentukan cara terbaik dalam memecahkannya. Kemampuan membuat
keputusan adalah yang paling utama bagi seorang manajer, terutama bagi kelompok
manajer atas (top manager). Griffin mengajukan tiga langkah dalam pembuatan
keputusan. Pertama, seorang manajer harus mendefinisikan masalah dan mencari
berbagai alternatif yang dapat diambil untuk menyelesaikannya. Kedua, manajer
harus mengevaluasi setiap alternatif yang ada dan memilih sebuah alternatif
yang dianggap paling baik. Dan terakhir, manajer harus mengimplementasikan alternatif
yang telah ia pilih serta mengawasi dan mengevaluasinya agar tetap berada di
jalur yang benar.
Etika manajerial
Etika manajerial adalah standar prilaku yang
memandu manajer dalam pekerjaan mereka. Ada tiga kategori klasifikasi menurut
Ricky W. Griffin:
Perilaku terhadap karyawan
Perilaku terhadap organisasi Perilaku terhadap
agen ekonomi lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar