Kamis, 28 November 2013

Tanggung Jawab Sosial Manajer / Perusahaan

Tanggung Jawab Sosial Manajer / Perusahaan
Tanggung jawab sosial
Dalam hubungan bisnis dan pemangku kepentingan (stakeholder) pada tahap awal diakui bahwa tanggung jawab sosial adalah fungsi pemerintah, bukan tanggung jawab bisnis ataupun perusahaan. Pendapat ini tentunya terjadi pada awal dekade dimana hasil alam masih berlimpah, persaingan industri tidak ketat, dan tuntutan pemangku kepentingan terhadap perusahaan belum tinggi. Dapat dicatata pendapat Friedman dalam Robin, F (2008) hal 232. menuliskan bahwa The business of business is to maximise profits, to earn a good return on capital invested and to be good corporate citizen obeying the law- no more and no less. Sejalan evolusi pada seluruh bidang, termasuk adanya globalisasi, hal demikian berubah drastis.
Dalam perkembangan bisnis baru, diakui bahwa tanggung jawab sosial perusahaan yang dikenal sebagai Community Social Responsibility (CSR) adalah fungsi perusahaan. Adapun “desakan” untuk itu bersumber dari banyak hal baik karena tekanan global maupun regional. Bilamana dikaitkan fungsi maka ini dilakukan secara sukarela (voluntary) bukan karena adanya paksaan dari luar, utamanya dari pemerintah. Lebih dari itu, pembeda terminologi CSR dengan penerapan sebelumnya terletak kepada fungsi “tanggung jawab ” yang bermakna bahwa CSR sifatnya datang dari perusahaan.
Banyak konsep CSR yang dipubllikasikan, Wibisono (2007) melaporkan CSR bahwa CSR didefinisikan sebagai komitmen dunia usaha untuk terus-menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontibusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas. Dalam versi World Bank CSR didefinisikan sebagai “the comitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both and good fo business development”
Dalam batasan demikian, maka CSR sesungguhnya merupakan konsep dan program yang menucnul secara sukarela, karena perusahaan menganggap penting sehingga harus diformulasikan sedemikian rupa. Selanjutnya, di dalam konsep CSR terdapat berbagai aspek seperti nilai, kultur, kompetensi, sejarah perusahaan bahkan etika yang dijadikan dasar bertindak oleh seluruh pihak internal manajemen perusahaan .
Isu terkait dengan CSR senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan dinamika dan kesadaran tetang kebutuhan bersama. Isu yang terkait utamnya adalah Good Corporate Governance, Sustainable Development, sampai ke Daya Saing. Bilamana isu ini disimak lebih dalam, maka ditemukan bahwa penerapan CSR saling menopang dengan dimensi-dimensi tersebut. Bila dikatikan dengan corporate governance maka penakanan CSR adalah pelibatan stakeholder dalam tatakelola perusahaan. Semantara itu bila dikaitkan dengan isu keberlanjutan, penekanannya adalah bahwa bisnis yang dapat berkelanjutan apabila didukung oleh pemangku kepentingan. Selanjutnya bila dikaitkan dengan konsep daya saing, maka sisi pelaksanaan CSR adalah dalam rangka membangun daya saing bisnis baik di tingkat regional maupun global (Zadek, 2006)
Dalam hubungannya dengan tanggung jawab sosial, prinsip sederhana yang mendasari perkembangannya adanya satu pengakuan prinsip mutualisme, dimana antara perusahaan dan masyarakat harus hidup berdampingan dan saling memberikan manfaat bersama. Hal ini kemudian diakui oleh bisnis bahwa hanya dengan masyarakat – yang dikenal juga dengan sebutan stakeholder yang kuat – maka bisnis dapat berkembang dengan baik.
Dalam perkembangan yang lebih lanjut, perkembangan teknologi menjadi isu yang paling dominan sebagai bagian daripada tanggung jawab sosial. Teknologi cloning misalnya telah berkembang demikian pesat, akan tetapi tetap dilaksanakan untuk mengapresiasi keberdaan daripada manusia dan masyarakat. Demikian juga dengan teknologi transgenik di bidang budidaya secara teknologi telah lolos akan tetapi secara sosial dan kemasyarakatan masih terus dipertanyakan. Sesuai dengan penjelasan di atas, fokus diskusi pada studi ini adalah bagaimanakah model pengembangan tanggung jawab sosial perusahaan dalam presfektif penggunaan hasil penelitian dan teknologi.
2. Tanggung jawab sosial Perusahaan
Tanggung jawab sosial dewasa ini sudah menjadi bagian daripada orientasi bisnis. Prinsip ketergantngan dan manfaat bersama ternyata menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan atau implementasi program tanggung jawab sosial. Terminologi Tanggung jawab Sosial (social responsibility) sendiri terkait dengan banyak istilah. Waddock dalam Meehan (2006) menjelaskan 9 istilah yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial: 1) corporate social responsibility (CSR), 2) corporate social perfomance (CSP), 3) alternative CSR3c, 4) Corporate responsibility, 5) Stakeholder approcah, 6) Business ethics and values, inclding nature-based values, 7) Boundary-spanning functions including, Corporate Community Involvement (CCI), dan 9) Corporate Citizenship (CC).
Substansi daripada istilah ini dari masa ke masa mengalami perubahan. Pada tahun 60an, tanggung jawab sosial lebih berintikan “charity” perusahaan kepada lingkungan yang mengambil berbagai bentuk, berbeda antara satu perusahaan terhadap perusahaan lain. Sudah tentu, model charity seperti itu susah untuk dievaluasi manfaat dan dampaknya. Model pyramida yang dikembangkan Carrol sangat dominan dalam penjelasan tanggung jawab sosial, Caroll menjelaskan kaitan antara satu bidang tanggung jawab sosial korporasi dengan bidang lain. Dari semua model di atas, salah satu yang dominan dikembangkan sekarang ini ada model pendekatan yang dikembangkan yaitu model pendekatan stakeholder (5). Model ini menjelaskan rinci peran pemangku kepentingan dan fungsinya kepada perusahaan. Dengan identifikasi peran dan kepentingan, maka perusahaan dapat mengintegrasikannya ke dalam satu pencapaian tujuan. Sementara Meehan sendiri lebih menggunakan model 3C-SR, dimana inti dari 3C adalah Commitment, Consistency dan Connection, dan patut dicatat tidak kedua model ini sesungguhnya berbeda pandangna, pada model 3C lebih menekankan konsep yang kemudian diurut menjadi operasional.
Di Indonesia, masalah tanggung jawab sosial bisnis menjadi isu yang belum terslesaikan dengan baik. Menurut UU No 40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas telah dinyatakan bahwa tanggung jawab Sosial adalah bagian daripada tugas perseroan, oleh karena itu perseroan harus menyediakan dana. Artinya komponen biaya tanggung jawab sosial bukan lagi didasarkan kepada skema kalau perusahaan punya dana, akan tetapi di awal perusahaan telah diharuskan mencantumkan dana tanggung jawab sosial. Konsep ini menjustifikasi anggaran di tingkat manajemen puncak yang belum tentu mendapat pengesahan. Lebih dari itu, perseroan diharuskan menyampaikan laporan.
Selain aturan ini masih ada program lain bersifat insentif dan fasilitatif, yaitu PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan) yang dimaksudkan untuk mendorong perusahaan peserta meningkatkan prestasi mereka dalam program lingkungan hidup secara luas. Sesuai dengan prinsip dasar PROPER dari Kementerian Lingkungan Hidup mendorong penataan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan melalui instrumen insentif dan diseinsentif reputasi dengan pelibatan masyarakat dan sekaligus sebagai wujud dari pelaksanaan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23/1997 pasal 5 ayat 2 tentang hak masyarakat atas infomasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup. Perusahaan yang terlibat dalam program mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, karena hasil peringkat dimumkan terbuka, yang baik diberi hadiah, pihak manajemen merasa manfaat langsung. Walau program ini tidak bisa disamakan dengan program tanggung jawab sosial, karena kecenderungan pada program ini adalah masalah lingkungan.
Bersamaan dengan pandangan ini dikenal istilah stakeholder dalam terminologi Indonesia dikenal sebagai pemangku kepentingan . Jadi kalau tuga perusahaan pada awalnya adalah untuk menciptakan keuntungan kepada pemilik saham (shareholder), maka tugas ini telah berobah menjadi memberikan manfaat kepada stakeholder. Dari hasil penelusuran studi literatur diketahui bahwa banyak penulis mengacu kepada pendapat Carol (1979) yang mengidentifikasi bahwa tanggung jawab sosial perusahaan adalah: 1) ekonomi, 2) legal, 3) ethical, 4) diskresionary. Masing-masing tanggung jawab sosial ini dijelaskan sebagai berikut (Jamali, D. 208)
1) Ekonomi mislanya berkaitan dengan menyediakan ROI kepada pemegang saham, menciptakan pekerjaan dan pengupahan yang adil, menemukan sumberdaya baru, mempromosikan penggunaan teknologi lanjutan, inovasi, dan menciptakan barang dan jasa yang baru.
2) Legal berkaitan dengan peran perusahaan memainkan peran sesuai dengan peraturan dan prosedur. Dalam kaitan ini masyarakat mengharapkan agar perusahaan dapat memenuhi visi dan misi yang diusungnya.
3) Etika diharapkan agar pelaku bisnis mempunyai moral, etika kerja dimana perusahaan berada. Etika tidak harus sesuai dengan apa yang diatur dalam aturan formal, akan tetapi dapat memenuhi harapan masyarakat terhadap perusahaan , misalnya menghargai masyarakat, menghidnari pencideraan masyarakat, dan mencegah adanya bencana bagi masyarakat.
4) Berkaitan dengan penilaian, pilihan perusahaan dalam hal kegiatan yang diharapkan kembali kepada masyarakat.
Tentang dampak hubungan baik antara perusahaan dengan pemangku kepentingan , Kotter J dan James (1992) dalam Svendensen et.al. (2000) laporannya tentang Corporate Culture yang dilaporkan Harvard, menunjukkan bahwa selama 11 tahun pemantauannya menunjukkan bahwa dari sisi: pertumbuhan penjualan dan pertumbuhan karyawan, perusahaan yang berorienatasi keapada stakeholder berikenerja lebih baik dbanding dengan perusahaan yang berorientasi pada pemegang saham. Dicatat juga bahwa manajemen yang menerapkan visi lebih memberikan fokus kepada stakeholder daripada pemegang saham. Laporan ini senada dengan hasil penelitian tentang Living Company (1997) dimana ditemukan bahwa perusahaan yang berorientasi kepada pemangku kepentingan tetap berada pada hubungan yang harmonis dengan lingkungan nya dengan tetap menjada hubungan kuat dengan lingkungan. Hal demikian dimungkinkan karena manfaat yang diterima perusahaan yang berorientasi kepada pelanggan akan memberikan manfaat yang berkelanjutan terhadap perusahaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar